Surabaya Pusat memiliki banyak fenomena permukiman slum dimana pada tahun 2008 luasnya mencapai 68,02 Ha. Permukiman kumuh di kawasan pusat kota Surabaya mengalami perkembangan pada kurun waktu tahun 2006-2011. Adapun permukiman kumuh yang terdapat di kawasan pusat kota Surabaya memiliki karakteristik yang beragam sehingga dibutuhkan
pentipologian berdasarkan kesamaan karakteristik. Tipologi yang dibuat dalam RP4D Kota Surabaya kurang komprehensif karena hanya berfokus pada lokasi dan tingkat kekumuhan. Dengan demikian diperlukan pentipologian dengan
kajian yang lebih komprehensif dengan memperhatikan faktor penyebab kekumuhan dan karakteristiknya. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan tipologi permukiman kumuh di kawasan pusat kota Surabaya berdasarkan karakteristik dan faktor penyebab kekumuhannya. Pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan rasionalistik karena penelitian ini didasarkan pada kebenaran yang didapatkan melalui fakta empirik. Ada empat metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, statistik deskriptif untuk mendapatkan karakteristik permukiman kumuh. Kedua, analisis cluster untuk mengklasifikasikan permukiman kumuh berdasarkan kesamaan karakteristik. Ketiga, analisis Delphi untuk memperoleh faktor penyebab kekumuhan. Dan yang terakhir ialah crosstabulasi untuk mendapatkan tipologi permukiman kumuh. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, didapatkan 3 tipologi
permukiman kumuh pusat kota Surabaya. Tipologi 1 terdiri dari area kumuh
Kedungturi, Wonorejo, Kampung Malang Tengah, Kedondong Kidul, dan Kupang Panjaan yang memiliki bentuk dasar empat persegi panjang atau kompak dan lebih dipengaruhi oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan. Tipologi 2 terdiri dari area kumuh Dupak, Margorukun, Tembok Dukuh, Asembagus, dan Sidotopo yang memiliki bentuk dasar pita atau memanjang serta dipengaruhi oleh faktor rendahnya tingkat pendapatan dan rendahnya tingkat kesadaran lingkungan. Sedangkan tipologi 3 terdiri dari area kumuh Kemayoran Baru, Kapasari, Kenjeran DKA, Donorejo, dan Gembong yang
memiliki bentuk dasar pita atau memanjang dan lebih dipengaruhi oleh faktor rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka migrasi masuk, rendahnya
tingkat kesadaran lingkungan, rendahnya kualitas prasarana permukiman, dan
lemahnya tingkat pengendalian pemanfaatan ruang.
Sejak awal Maret 2020 Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyebar dan membuat pandemi di Kota Surabaya membuat dibuatnya pembatasan pergerakan ruang masyarakat. Masyarakat tertekan karena bahaya COVID-19 dan dibatasinya ruang gerak karenanya, untuk mengatasinya masyarakat tetap perlu adanya pariwisata salah satunya pariwisata bertipe alam di tengah hiruk pikuk kota sebesar Kota Surabaya, Ekowisata Mangrove Wonorejo menjadi salah satu pariwisata yang memfasilitasi masyarakat tentu dengan kontrolling jumlah wisatawan dan penerapan protokol kesehatan (protokol CHSE) yang ketat di setiap kegiatan ekowisata. Tetapi apakah kegiatan Ekowisata Mangrove Wonorejo sudah sesuai dengan protokol CHSE, maka perlu mengidentifikasi karakteristik kegiatan Ekowisata Mangrove Wonorejo di masa pandemi COVID-19. Untuk menjalankan tujuan tersebut penelitian ini dilakukan 2 tahap analisis yaitu menentukan faktor daya tarik wisata yang berpengaruh dalam Mangrove Wonorejo di masa pandemi dengan metode analisis delphi. Tahap kedua yaitu mengidentifikasi karakteristik faktor daya tarik wisata yang berpengaruh dalam Ekowisata Mangrove Wonorejo di masa pandemi dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat 9 indikator yang berpengaruh yaitu daya tarik wisata, sarana, prasarana, aksesibilitas, kelembagaan, partisipasi masyarakat, promosi, edukasi dan lingkungan dengan 23 variabel yang menerapkan protokol CHSE didalamnya akhirnya membuat 86 karakteristik kegiatan Ekowisata Mangrove Wonorejo di masa pandemi COVID-19.
<span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">Population growth is happening in cities, including Surabaya as the second largest <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">metropolitan region in Indonesia. The population growth has an impact to the residential <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">density, whereas residential is usually the largest part of land use in urban areas. In <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">urabaya, residential use covers more than 60% of the total area. The intensive use of <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">residential area has impacts on the environment. One significant issue is the consumption of <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">energy that produces greenhouse gas emissions. This study is aimed at explaining the <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">relationships between residential density and greenhouse gas emissions in Surabaya City, <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">Indonesia. The residential density will be divided into three categories, i.e. low, medium and <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">high density. The category of density is taken from the Identification Report of Surabaya <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">Spatial Plan. The results of this study indicate that there are significant differences in the <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">electrical energy consumption for the household sector in each residential density. These <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">differences are mainly influenced by variables such as car ownership, ventilation system, the <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">use of electrical power, cooking fuel and the way to use the home appliances. The highest <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">total energy consumption per month exists in high density type. Although the average <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">smallest energy consumption per household exists in medium density, the total energy <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">consumption in medium density is much greater than that in the low density because the <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">number of households in medium density is greater. The final result shows that the <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">correlation between the total production of GHG emissions (CO2) and density has a direct or <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">positive relationship, which means that the greater the density, the higher the production <span style="font-size: 9pt; color: #000000; font-style: normal; font-variant: normal;">rate of GHG emissions (CO2).</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span><br style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; orphans: 2; text-align: -webkit-auto; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px;" /></span>
Eduwisata merupakan salah satu potensi pariwisata di Kota Batu yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan nilai edukasi dan perekonomian di sekitarnya. Pengembangan eduwisata herbal di Kecamatan Batu masih sebatas pengembangan agrowisata perkebunan buah-buahan, sedangkan terdapat potensi lain berupa tanaman herbal/biofarmaka yang juga dapat dikembangkan menjadi agrowisata. Dalam perencanaan kawasan Eduwisata Herbal di Kota Batu ini perlu adanya eksplorasi terhadap desain logo menggunakan elemen grafis yang nantinya dapat digunakan untuk branding Kawasan Eduwisata Kota Batu. Sehingga Tujuan dari penelitian ini adalah eksplorasi desain logo Eduwisata herbal di Kota Batu untuk branding Kawasan Eduwisata Kota Batu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan komparasi terhadap beberapa desain logo untuk mendapatkan hasil berupa desain logo yang sesuai dengan keinginan dan melambangkan identitas diri Kawasan Eduwisata Herbal Batu. Adapun elemen grafis yang dikembangkan berupa logo yang dibuat dengan beberapa langkah yang disesuaikan dengan kebutuhan eduwisata herbal oro-oro ombo, menghasilkan logo yang memiliki makna disetiap elemennya yaitu daun yang berarti herbal, tiga huruf “o” yang berarti oro oro ombo, serta bentuk menyambung yang bermaksud sustainable terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi, serta bentuk huruf “o” yang berbasis lingkaran melambangkan eduwisata herbal yang lengkap.
Kabupaten Ponorogo memiliki potensi pariwisata beraneka ragam yakni sebanyak 50 daya tarik wisata yang tersebar di beberapa kecamatan. Dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Ponorogo terkendala oleh beberapa faktor, yakni aksesibilitas, fasilitas, pemasaran, dan jumlah wisatawan. Kondisi tersebut menyebabkan pengembangan obyek wisata di Kabupaten Ponorogo berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tahap perkembangan pariwisata di Kabupaten Ponorogo berdasarkan adaptasi teori siklus hidup pariwisata dan merumuskan arahan pengembangan. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif untuk mengidentifikasi tipologi pariwisata di Kabupaten Ponorogo, Content Analysis untuk menentukan variabel yang berpengaruh terhadap siklus hidup di Kabupaten Ponorogo, analisis deskriptif kualitatif untuk menganalisis tahap perkembangan pariwisata berdasarkan siklus hidup pariwisata, dan analisis deskriptif untuk merumuskan arahan pengembangan pariwisata di Kabupaten Ponorogo. Dari penelitian ini akan di hasilkan klasifikasi daya tarik wisata di Kabupaten Ponorogo berdasarkan siklus hidup pariwisata dan arahan pengembangan yang sesuai pada masing-masing siklus hidup yang ada.
Di setiap wilayah yang sedang berkembang pasti memiliki suatu permasalahan yang dapat menghambat proses perkembangan itu sendiri. Kabupaten Jember yang saat ini memiliki banyak potensi wisata dari keindahan alamnya, namun belum dikembangkan secara maksimal, khususnya pada kawasan wisata bahari yang masih belum terkemas. Hal ini menunjukkan bahwa pengemasan DTW satu dengan yang lainnya tidak dilakukan secara merata. Oleh sebab itu perlu ditemukannya faktor pengembangan untuk kawasan wisata bahari di Kabupaten Jember agar perkembangannya dapat dilakukan secara merata. Dalam penentuan faktor pengembangan akan digunakan teknik analisa Delphi dengan melibatkan para stakeholder sebagai responden. Teknik analisa ini dilakukan dengan dua tahap karena pada tahap pertama ditemukan satu faktor yang perlu di iterasi sehingga perlu dilakukan anlaisa Delphi tahap dua. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan sepuluh faktor pengembangan yaitu daya tarik wisata, prasarana dan sarana, partisipasi masyarakat, kelembagaan, kualitas lingkungan, kesempatan investasi, perlindungan sumberdaya, kebijakan dan pemasaran. Diharapkan dengan ditemukannya faktor pengembangan ini pengembangan wisata bahari di Kabupaten Jember dapat dilakukan secara merata.
Desa Tradisional Bungaya merupakan salah satu desa wisata budaya yang sudah ditetapkan oleh RTRW Propinsi Bali
2009-2029 berdasarkan Perda Provinsi Bali No.16 Tahun 2009. Desa wisata budaya ini mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri dan memiliki tujuh (7) potensi wisata.salah satunya )
adanya bangunan peninggalan sejarah agama Hindu.Namun selama perkembangannya, desa wisata ini mengalami penurunan fungsi
kawasan sebagi desa wisata.. Sehingga diperlukan usaha revitalisasi
kawasan yang bertujuan mendapatkan hasil arahan revitalisasi yang
tepat dan sesuai untuk meningkatkan fungsi kawasan desa bungaya. Untuk mengindentifikasi potensi digunakan analisa theoretical Deskriptif kemudian dilkakukan identifikasi faktor
penurunan fungsi kawasan wisata dengan alat analisa Delphi, hasil dari potensi dan faktor penurunan fungsi kawasan digunakan untuk input dalam menentukan kriteria desa wisata yang tepat dan
diperkuat dengan wawancara pada stakeholder terkait, selanjutnya
dilakukan analisa triangulasi untuk merumuskan arahan revitalisasi
pada desa wisata budaya. Hasil dari studi ini adalah arahan revitalisasi desa bungaya sebagai potensi desa wisata budaya yang dapat memanfaatkan
potensi kawasan namun tetap menjaga kekhasan tradisional baiklingkungan dan sosial dari desa Bungaya
CPTED studies has been popular since 1960-1970s, however studies in Indonesian city context showed limited references. This paper identified the need of CPTED study followed a massive MRT network development in Jakarta City, as the need for re-design and city beautification to fit with the vibrant TOD urban lifestyle may create moments as well to promote CPTED implementation. The perception survey was developed to understand the perceived crime risk level among the MRT users of Bundaran HI Station. The survey conducted in two scopes of context, i.e. the TOD precinct, an area of 800 radius from the station, and inside the station itself. Finding from the TOD context showed that the maintenance and information have been the most significant but often mostly ignored. These two component may lead to under-rated other CPTED components, weaken the territorial reinforcement and natural surveillance. Out of 56 parameters, 26 parameters or almost halve have rated below 3, alarmed for a more comprehensive design and intervention at the TOD neighbourhood level that emphasizes on the implementation of CPTED principles. Finding from the Bundarin HI station context showed that under the Likert scale 1 (the lowest risk) to 5 (the highest risk), most of the CPTED rated from 4 – 5. There were a variation in the perceived security among different respondents based on gender, time pattern, location pattern, and mode chosen for station access. However, these rating differences were not significant according to the ANOVA and the t-test statistics. The chi-square test found no association between the perceived securities with the type of mode uses for station access. These preliminary findings suggested that the Bundaran HI TOD station is secured from crime risk according to perception of MRT users; therefore little variation in the rating of perceived security gave little information to draw any association with other important variables such as the mode choice for station access. However, taken the measures on wider context at the TOD precinct, the rating of CPTED consistently lower in all components, suggested the urban design and land use zoning-and transportation intervention that consider CPTED principles to be emphasizing at wider area to support the security of the station.
Abstract Performance indicators of 31 sub-districts in Surabaya are still the same and are not yet fully accountable (SMART). It is very important to prepare SMART performance indicators so that it is expected that existing sub-district funds can be used effectively and efficiently. There are three analyses that will be conducted to achieve the research objectives, among others, by looking for programs and activities that can be carried out by the sub-district government based on the Decree of the Ministry of Internal Affairs No. 50 of 2020 that produces 4 programs, and 9 sub-prgrams selected to be carried out by the sub-district government. After that, Focus Group Discussion with the City government was carried out to find out the thematic potential of 31 sub-districts in Surabaya city as material for the preparation of subdistrict indicators and produced 6 sub-district themes. The last stage is to synchronize thematic sub-district programs and activities with the Regional Medium Term Development Plan (RPJMD) of Surabaya City. This is done so that the resulting activity indicators are in accordance with the direction of surabaya development in the next 5 years.
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak Urban Sprawl dari pertumbuhan Kota Surabaya. Kebutuhan lahan permukiman yang semakin terbatas dan mahalnya lahan permukiman di daerah Kota Surabaya terutama yang berada di pusat kota membuat masyakarat lebih memilih bermukim di daerah pinggiran kota Surabaya yaitu Kecamatan Waru dan Kecamatan Taman. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lokasi hunian Peri Urban Surabaya di Sidoarjo. Pada jenis penelitian ini menggunakan pendekatan positivistik dengan jenis deskriptif. Dari hasil didapat 9 faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih lokasi hunian antara lain: Aksesibilitas (Kemudahan menuju pertokoan) Ketersediaan air bersih, Ketersediaan Fasilitas Pertokoan, Ketersediaan Fasilitas Peribadatan (mushola), Keindahan (Kebersihan), Aksesibilitas (Kemudahan menuju angkutan umum ), Aksesibilitas (Kemudahan menuju sekolah), Ketersediaan jaringan listrik, Harga Lahan/Rumah. Dengan demikian, Aksesibilitas menjadi faktor primer dalam pemilihan lokasi hunian peri urban Surabaya di Sidoarjo