Various prevention and adaptations have been carried out to prevent the recent global pandemic of COVID-19, one of which is encouraging people to do activities at homes to reduce the level of transmission of the COVID-19 virus. Worker and students adapted to working from home (WFH) and learning from home (LFH) which resonates globally with the hashtag stayhome. This policy is quite effective if we assume that all residential areas have ideal conditions to accommodate the health functions and productivity of their residents. In fact, housing and settlement areas in Indonesia have various characteristics and responses to pandemic situations. This article aims to map the adaptation efforts of housing and settlement areas in Indonesia during the COVID-19 pandemic based on several observational variables. Data was taken in May 2020, the 3rd month after the appeal to stay home was socialized in Indonesia, through 110 respondents who were undergoing WFH and LFH, spread across almost all parts of Indonesia. The data is processed through descriptive statistical analysis and the results show that the assumption that all residential areas are in a state that is ready to become the frontline of defense during the pandemic has not been as expected, especially from observations of houses and their surroundings as a function of isolation, the effectiveness of implementing rules and policies, and limitation of activities in order to increase settlement resilience.
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur semakin memicu performa pembangunan fisik. Disisi lain, terjadi degradasi dan permasalahan terkait lingkungan di sisi internal maupun ekstrenal Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, adanya kajian indikator daya tampung lingkungan binaan dan sosial ini dapat dijadikan masukan untuk pembangunan Jawa Timur yang lebih berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah metode analisa deskriptif kualitatif yang dilanjut dengan analisa delphi. Hasil dari analisa delphi dalam penentuan indikator daya tampung lingkungan binaan di Jawa Timur didapatkan kesepakatan bahwa indikator yang dapat mengukurnya adalah indikator ketersediaan lahan, ketersediaan sumberdaya air, dan aspek kualitas lingkungan. Sedangkan, indikator dalam penentuan daya dukung lingkungan sosial adalah indikator gaya hidup dan tingkat konsumsi penduduk. Kata Kunci : Daya Tampung Lingkungan Binaan, Daya Tampung Lingkungan Sosial
Permas a lahan permukiman kumuh harus diperhatikan secara penuh oleh pemerintah, dikarenakan masyarakat miskin juga mempunyai hak untuk memiliki taraf hidup yang lebih baik,akan tetapi masyarakat seolah tidak memiliki rasa kepercayaan baik kepada pemerintah maupun program yang diberikan pemerintah, hal inilah yang menjadi pokok utama ketidak berhsilan program perbaikan permukiman yang sudah dilakukan, pada penelitian ini penulis ingin mengetahui apasaja bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam setiap tahapan program PLP-BK di Kelurahan Kedung Cowek. Dengan mengunakan teknik analisis deskriptif kualitatif penulis berharap menemukan dan menjabarkan apasaja bentuk pasrtisipasi masyarakat dalam setiap tahapan PLP-BK. Dan ternyata hasil dari analisi bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahap program PLP-BK dapat dikatakan kurang, masyarakat dirasa kurang aktif dalam program tersebut. Pada tahap sosialisasi masyarakat mau menghadiri tahap sosialisasi dikarenakan ada acara keagamaannya, sedangkan pada tahap perencanaan, masyarakat hanya menyumbang bentuk partisipasi buah pikiran, pengambilan keputusan dan perwakilan saja, dan pada tahap pelaksanaan pembangunan dan tahap kebrelanjutan masyarakat tidak menyumbangkan bentuk partisipasi apapun, dikarenakan masyarakat tidak dilibatkan dalam kedua tahap tersebut.
Desa Wisata Adat Sade berada di kawasan strategis pariwisata dan telah memiliki banyak potensi khususnya pada keunikan Desa Wisata Adat Sade yang masih mempertahankan adat dan budaya lokal mereka. Namun, sangat disayangkan pariwisata Desa Wisata Adat Sade mengalami penurunan pengunjung yang terjadi akibat pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prioritas pengembangan pada Desa Wisata Adat Sade di masa new normal agar tetap bertahan dan berkelanjutan. Jenis penelitian ini adalah mixed methods yang berfokus pada preferensi key responden dan kondisi lapangan pada kawasan Desa Wisata Adat Sade. Penelitian ini menggunakan content analysis yang ditujukan kepada stakeholder terpilih dan dilanjutkan menggunakan analytical hierarchy process untuk menentukan faktor prioritas. Dari hasil analisis akan menjadi jawaban dari tujuan penelitian ini, sehingga diketahui bahwa faktor keamanan dan kenyamanan menjadi faktor prioritas dalam pengembangan pada Desa Wisata Adat Sade di masa new normal.
Abstract Strategic Environmental Assessment (SEA) aims to ensure that sustainable development principles are mainstreamed into development Policies, Plans, and Programs (PPPs). Spatial data play an essential role in supporting SEA to achieve the goal. This study aims to describe the role of spatial data in supporting SEA in integrating sustainable development principles into PPPs. This study uses literature as data sources and performs qualitative descriptive analysis in discussing the research objective. Spatial analysis were also performed to provide examples on how spatial data can be used to support SEA. This research begins by introducing spatial data and spatial data analysis characteristics. Then, the discussion explains spatial data roles in SEA. Aspatial approaches and analysis techniques to support SEA are also elaborated. Next, examples of spatial analysis outputs in SEA are provided. Finally, this study provides suggestions to enhance spatial data contributions in SEA. This study has successfully shown examples of how spatial data can estimate the potential environmental impacts of PPPs stipulated in spatial planning. Spatial data provide information that can be used to recommend alternative formulations to mitigate or prevent environmental risks. This study adds to the literature related to the spatial data role in SEA for general spatial planning.
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya kurang diimbangi dengan ketersediaan tempat tinggal yang dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Kondisi tersebut memicu munculnya permukiman yang dibangun dengan kondisi minim tanpa memperhatikan struktur tata ruang dan konstruksi bangunan yang baik. Fenomena tersebut terjadi di kawasan pusat kota Surabaya yang saat ini memiliki banyak fenomena permukiman kumuh dengan karakteristik yang beragam. Dengan melihat keberagaman karakteristik permukiman kumuh di kawasan pusat kota Surabaya, maka diperlukan suatu upaya untuk mengelompokkan permukiman kumuh berdasarkan kemiripan karakteristiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan permukiman kumuh berdasarkan kemiripan karakteristik kekumuhannya. Terdapat 2 alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, statistik deskriptif untuk mendapatkan karakteristik permukiman kumuh di kawasan pusat kota Surabaya. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan mengolah hasil kuisioner ke dalam tabel, diagram, prosentase, dan grafik serta membandingkannya dengan peraturan atau standar yang berlaku. Sedangkan metode kedua ialah analisis cluster untuk mengelompokkan permukiman kumuh berdasarkan kemiripan karakteristik kekumuhan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, didapatkan 3 cluster permukiman kumuh. Cluster 1 terdiri dari area kumuh Kedungturi, Wonorejo, Kampung Malang Tengah, Kedondong Kidul, dan Kupang Panjaan. Cluster 2 terdiri dari area kumuh Dupak, Margorukun, Tembok Dukuh, Asembagus, dan Sidotopo. Cluster 3 terdiri dari area kumuh Kemayoran Baru, Kapasari, Kenjeran DKA, Donorejo, dan Gembong. Cluster 1 memiliki ketersediaan prasarana dan kondisi fisik yang paling baik diantara ketiga cluster. Sedangkan cluster 3 memiliki ketersediaan prasarana dan kondisi fisik yang paling buruk.
Kampong Dolly is one of the settlement area in Surabaya which in older times was known as the largest prostitution area in Southeast Asia. Currently, the Mayor try to transform it to become tourism settlements. In that case, Surabaya's Government is having need to increase the competitiveness of their local product so that they would be able to compete in global market to raise up their level of prosperity. One way to increase the competitiveness of their local product is by advancing the development of creative industry. To formulate the development strategy, we need to know both of potentials and problems. The researcher using content analysis method and the mind map analysis to identify its potentials and problems and the relation of each other. From mind map analysis, we know that the main potential of MSMEs in Kampoeng Dolly is a product that has unique characteristics, the easiness of getting raw material stock, and branding as Dolly ex-prostitution area's product. While the main problems faced by MSMEs is the narrow area of market destination, small amount of product for each production, still using the old and traditional method of production, and low quality and quantity of the workers.
Kelurahan Kalisari merupakan permukiman yang berada di Kecamatan Mulyorejo Kota Surabaya. Kelurahan Kalisari merupakan salah satu permukiman yang masuk dalam Daftar Kawasan Prioritas II Penataan dan Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman di Kota Surabaya. Terdapat tujuh indikator yang menjadi indikator kumuh. Adapun tujuh indikator itu yaitu kondisi jalan,penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan sampah dan pennganan kebakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang berpengaruh terhadap timbulnya permukiman kumuh di Kelurahan Kalisari Kecamatana Mulyorejo Kota Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa indikator yang berpengaruh terhadap timbulnya permukiman kumuh diantaranyajalan lingkungan, drainase lingkungan, pengelolaan sampah dan bangunan gedung. Sedangkan indikator yang tidak berpengaruh dalam timbulnya permukiman kumuh adalah penyediaan air minum, pengelolaan air limbah dan penanganan kebakaran.
Kota Surabaya merupakan kota yang cukup tua yang bahkan sudah ada sebelum zaman kolonial. Tidak mengherankan bahwa di Surabaya banyak bangunan peninggalan zaman kolonial. Peninggalan tersebut masih belum diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan pengamatan masih adanya bangunan bersejarah yang tidak terawat atau bahkan sampai rusak. Selain itu masih sering terlihat bahwa bangunan tersebut kosong dan belum termanfaatkan dengan baik. Adanya keterbatasan dalam aksesibilitas ke wisata Kota Lama Surabaya seperti kurangnya fasilitas pendukung transportasi wisata. Keterbatasan sarana akomodasi yang menunjang pengembangan kawasan wisata. Selain itu terdapat keterbatasan fasilitas pelayanan wisata. Belum adanya peran kelembagaan yang maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pengembangan kawasan wisata Kota Lama Surabaya sebagai kawasan wisata sejarah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan content analysis. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara, observasi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa akan menjadi jawaban dari tujuan penelitian ini yaitu mengetahu faktor-faktor yang berpengaruh pengembangan kawasan wisata Kota Lama Surabaya sebagai kawasan wisata sejarah.
Abstract Lusi Island is a small island formed from sedimentation at the estuary of the Porong River and has an area of 94 hectares on the border between Sidoarjo Regency and Pasuruan Regency. The mudflow dumped into the Porong River due to a mud volcano 15 years ago became the cause of the formation of the new island. The mangrove forest is one of the attractions of ecotourism on the island that could attract tourists. However, the determination of Lusi Island as a conservation area, and the increasing number of tourists do not damage the environmental sustainability of the island. Economic valuation could identify the interest and willingness of tourists to participate in preserving the mangrove forest on Lusi Island. The Contingent valuation approach is used to measure people’s preferences through direct interviews about how much respondents are willing to pay (WTP) to get an amenity and comfortable environment. The economic valuation method uses WTP (willingness to pay) as a technique for assessing the ability of tourists to contribute to the development of ecotourism. The results of this study become input in the development of ecotourism and mangrove conservation by considering the involvement of tourists in preserving Lusi Island.