Diabetic Chronic Kidney Disease is a complication of diabetes marked by a progressive decline in kidney function. When kidney function falls below a glomerular filtration rate (GFR) of 15 ml/min (Stage 5), patients require renal replacement therapies, such as hemodialysis. This condition can significantly impact a patient's quality of life. This study aims to identify patient characteristics, assess quality of life, and explore the relationship between patient characteristics and quality of life in individuals with Type 2 Diabetes Mellitus complicated by Stage 5 Chronic Kidney Disease at RSUP Dr. Kariadi Semarang. The research used a cross-sectional design and the KDQoL-SF36 questionnaire for data collection. Results indicate that the patient group was predominantly elderly (90.7%), male (62.8%), married (88.37%), and primarily educated at the primary or secondary level (74.42%). A majority were unemployed (53.49%) and had an income greater than 3.000.000 IDR (62.79%). Most patients had been diagnosed with CKD Stage 5 for ≤12 months (62.79%), were receiving monotherapy for diabetes management (58.14%), and had more than one comorbidity (90.7%). The overall quality of life was rated favorably, with an average score of 72.09%. The study concludes that, while the quality of life is generally favorable, it is not significantly influenced by the specific patient characteristics examined. No correlation was found between these characteristics and the quality of life in patients with Type 2 Diabetes Mellitus and Stage 5 Chronic Kidney Disease at RSUP Dr. Kariadi Semarang. Keywords: Cross-sectional study; kidney disease; prevention; quality of life; type 2 diabetes
Background: Oxidative stress is an imbalance between free radicals and antioxidants, characterized by increase in malodialdehyde (MDA) levels. Stress oxidative caused by paracetamol overdose consumption and can be a serious problem for the structure and liver cell function. Oxidative stress prevented and controlled by antioxidant. Longan peel has phenolic and flavonoid which can potentially be sources of natural antioxidants. This study aimed to prove the longan peel extract had an antioxidant effect that could affect the oxidative stress in rats induced by toxic doses of paracetamol. Method: : Experimental research with control group design. Group P1, P2, and P3 were treatment group induced by paracetamol with a toxic dose of 2000 mg/kgBW and given extracts of longan peel (Dimocarpus longan L.) with multilevel doses, that were 25 mg/kgBW, 50 mg/kgBW, and 75 mg/kgBW wistar rat. Then, blood samples from each group were collected and measured plasma MDA levels and the animals were terminated, then their livers were taken for measurement of liver SOD enzyme activity. Result: One Way ANNOVA test showed a significant difference in plasma MDA (p=0,000) in the whole group of wistar rats. Significant differences were also shown on the examination of plasma MDA levels in the K1-K2, K2-P1, K2-P2, and K2-P3 groups (p<0,05). Conclusion: Longan peel extract had the effect of reducing plasma MDA levels of wistar rats induced by toxic doses of paracetamol compared to the control group. Keywords: Paracetamol, longan peel extract, MDA.
Gastritis merupakan peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi iritasi lambung. Salah satu upaya pengobatan yang sering dilakukan adalah dengan mengobati diri sendiri (swamedikasi). Dalam melakukan swamedikasi terhadap gastritis membutuhkan pengetahuan yang baik agar swamedikasi dilakukan dengan baik dan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku swamedikasi pada mahasiswa dengan jenis bidang pendidikan kesehatan dan non kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jenis potong lintang (cross sectional) dengan teknik pengambilan sampel 200 responden menggunakan teknik accidental sampling dari mahasiswa di Indonesia. Uji statistik menggunakan Uji Mann Whitney. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan swamedikasi gastritis pada mahasiswa kesehatan sebagian besar tergolong tinggi (61%) dan pada mahasiswa non kesehatan tergolong sedang (55%) sedangkan tingkat pengetahuan swamedikasi gastritis pada mahasiswa kesehatan sebagian cukup tergolong baik (67%) dan pada mahasiswa non kesehatan tergolong sedang (49%) serta terdapat perbedaan skor yang signifikan pengetahuan p 0.001 dan perilaku 0.046. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku swamedikasi gastritis.
Akses kesehatan merupakan bentuk dari pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Akses kesehatan seringkali hanya dilihat dari sudut pandang penyedia layanan, sementara akses dari sisi masyarakat sebagai pengguna kurang terperhatikan. Penelitian tentang akses pelayanan kesehatan dari perspektif pengguna dirasakan masih sangat kurang. Penelitian tentang akses pelayanan kesehatan dari sisi pengguna masih kurang. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dari segi akses memerlukan perspektif yang komprehensif dari dua sisi yang berbeda. Tujuan dari review artikel ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan. Desain metode yang digunakan merupakan review artikel, hasil data yang diperoleh berdasarkan kumpulan dari penelitian terkait. Metode pecarian sumber dilakukan dengan menggunakan kata kunci “akses kesehatan”, “pelayanan kesehatan” dan “fasilitas kesehatan” yang dilakukan pada bulan Desember 2020. Kriteria inklusi artikel yang digunakan yaitu artikel tahun 2011-2020 dan bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi akses fasilitas kesehatan. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu review artikel, artikel yang tidak menyediakan full text atau hanya menyediakan abstrak dan hasil skripsi, tesis, disertasi. Pencarian dari database menghasilkan 73 artikel, dimana hanya terdapat 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil review artikel menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akses kesehatan antara lain jenis kelamin, waktu tempuh, lokasi tempat tinggal, biaya transportasi, persepsi masyarakat tentang kesehatan, pendapatan, pendidikan, pengetahuan.
Swamedikasi merupakan upaya seseorang untuk mengenali gejala atau penyakit serta memilih obat sendiri. Swamedikasi dapat meningkatkan kesehatan nasional apabila dilakukan dengan baik, namun terdapat dampak negatif dari swamedikasi apabila dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Artikel ini disusun berdasarkan penelitian terdahulu untuk mengetahui bagaimana perilaku swamedikasi pada masyarakat untuk mengatasi gejala nyeri, diare, batuk, dan maag. Hasil yang didapatkan yaitu masyarakat lebih memilih untuk swamedikasi dibandingkan dengan berobat ke dokter dengan alasan penyakit dianggap ringan, lebih murah, mudah, dan cepat, selain itu obat modern lebih dipilih dibandingkan dengan obat tradisional dan masyarakat lebih memilih untuk membeli obat di apotek serta masih terdapat perilaku swamedikasi yang tidak tepat sehingga membutuhkan edukasi lebih lanjut. Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sumber informasi, kemudahan akses swamedikasi, dan saran dari keluarga..
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang ditandai dengan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama > 3 bulan. Salah satu faktor risiko dari PGK adalah hipertensi. Golongan antihipertensi yang direkomendasikan pada pasien PGK salah satunya adalah Angiotensin II Receptor Blocker (ARB). Hipertensi dapat memperburuk fungsi ginjal, sebaliknya penurunan fungsi ginjal dapat memperburuk hipertensi. Oleh karena itu, penting untuk mengontrol tekanan darah pasien PGK menggunakan antihipertensi dengan penggunaan yang rasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antihipertensi golongan ARB pada pasien PGK di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif. Sampel yang diteliti adalah 80 pasien PGK yang menggunakan golongan ARB dan dipilih menggunakan metode purposive sampling. Data diperoleh dari rekam medis yang dianalisis rasionalitasnya berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah 80 pasien dinyatakan tepat indikasi (100%), 80 pasien dinyatakan tepat pasien (100%), 74 pasien dinyatakan tepat obat (92,5%), dan 80 pasien dinyatakan tepat dosis (100%). Oleh karena itu, rasionalitas penggunaan antihipertensi golongan ARB berdasarkan empat kriteria tersebut sudah cukup baik, yaitu sebesar 92,5%.
Hipertensi adalah penyakit yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan diastole ≥ 90 mmHg. Prevalensi hipertensi pada penduduk ≥ 18 tahun di Kota Semarang berada pada urutan ke-5 dengan penderita sebesar 40,69%. Pemilihan obat yang rasional pada pasien hipertensi menjadi bagian yang penting dalam mencapai keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan rasionalitas penggunaan antihipertensi, hubungan antara usia, jenis kelamin, pola penggunaan obat dan penyakit penyerta terhadap keberhasilan terapi serta mengetahui gambaran rasionalitas penggunaan antihipertensi dan keberhasilan terapi pasien hipertensi rawat jalan di RSND Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional menggunakan rekam medis pasien hipertensi dan pengambilan sampel secara purposive sampling. Uji chi-square digunakan untuk analisis bivariat dan uji regresi logistik untuk analisis multivariat. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan antara rasionalitas penggunaan antihipertensi dan usia dengan keberhasilan terapi pasien hipertensi (p < 0,05) dan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, pola penggunaan obat dan penyakit penyerta dengan keberhasilan terapi (p > 0,05). Penggunaan antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di RSND Semarang menunjukkan tepat indikasi 100%, tepat obat 83,9%, tepat dosis 92,9% dan tepat pasien 94,9%. Secara keseluruhan rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pasien sebesar 73,7%. Sebanyak 44,4% pasien dapat mencapai target tekanan darah dan 55,6% pasien tidak dapat mencapai target tekanan darah.
Kanker terus menjadi masalah kesehatan utama, salah satu jenis penyakit kanker yang banyak diidap oleh wanita di Indonesia ialah kanker serviks. Herbal telah banyak digunakan dalam pengobatan kanker oleh masyarakat, namun penelitian lebih lanjut mengenai khasiat farmakologinya masih belum banyak dilakukan, salah satunya buah parijoto (Medinilla speciosa). Salah satu senyawa dalam tanaman herbal yang diduga bersifat antioksidan dan berpotensi sitotoksik ialah alkaloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sitotoksik ekstrak buah parijoto terpurifikasi secara in vitro pada sel kanker serviks HeLa. Buah parijoto diekstraksi dengan melakukan maserasi menggunakan etanol 70%. Rendemen dihitung dan difraksinasi dengan pelarut bertingkat sesuai kepolaran. Tiap fraksi rendemen dihitung dan dianalisis secara semi-kuantitatif menggunakan KLT. Tiap fraksi ekstrak buah parijoto diukur kadar total alkaloid dan didapatkan kadar total alkaloid tertinggi pada fraksi etil asetat sebesar 62,15%. Analisis sitotoksik dilakukan pada sel line HeLa menggunakan MTT assay dan didapatkan hasil IC50 terendah pada fraksi etil asetat sebesar 95,48 µg/mL. Analisis data dilakukan melalui analisis korelasi antara variabel kadar total alkaloid dan nilai IC50 menggunakan analisis korelasi Pearson dan didapatkan hasil bahwa kadar total alkaloid dan nilai IC50 berkorelasi sangat kuat dan signifikan (r = -0,98).
Background: Oxidative stress is a condition which were free radicals harm biological molecules, like lipid, protein, and DNA. Consume paracetamol can increase oxidative stress, which can cause increased level of AST and ALT serum. Longan pericarp (Dimocarpus longan L.) is one of natural ingredients that contain phenolic and flavonoids as an antioxidant to prevent oxidative stress. This study aims to prove the effect of longan pericarp (Dimocarpus longan L.) on AST and ALT serum levels of Wistar rats induced paracetamol. Methods: Experimental research with post-test only control group design. Thirty males wistar aged 2-3 months weighing 140-250 grams randomly divided into 5 groups. Group K1 was normal control group. Group K2 was induced by paracetamol 2000 mg/kgBW. Group P1, P2, P3 were induced by paracetamol 2000 mg/kgBW administered by longan shell extract (Dimocarpus longan L.) in multilevel dose 5 mg/200 gBW, 10 mg/200 gBW, and 15 mg/200 gBW. Blood samples in each group were collected to measure AST and ALT serum levels of wistar rats. Results: There were signifficant differences groups of AST serum. There were signifficant difference groups of K1-K2 (p=0,000), K2-P2 (p=0,041), and K2-P3 (p=0,010). There were signifficant differences groups of ALT serum. There were signifficant differences groups of K1-K2 (p=0,001), K2-P2 (p=0,032), and K2-P3 (p=0,006). Conclusions: The longan pericarp extract can lower the AST and ALT serum levels of Wistar rats induced by paracetamol.
In Indonesia, the use of herbal medicine as an alternative medicine is increasing. Herbal remedies are used as complementary medicine and self-medication. Diabetes mellitus requires treatment over the long term. This may contribute to the medication adherence problem. Consequently, many patients seek alternative treatments, such as herbal medications. The purpose of this study was to determine the use and type of herbal medicines among diabetic patients in Indonesia. A cross-sectional study with 190 respondents selected at random from multiple cities in Indonesia. A questionnaire was used to determine the most frequently used herbal medicine, the demographic profile of the patients, the health services, and the level of patient satisfaction with the use of herbal medicines. The participants were predominantly female (62.7%), housewives (39.5%), aged between 40 and 65 (84.5%), high school graduates (74.7%), and had low to moderate incomes (74.7%). The use of herbal medicine was 22%, and the combination of herbal medicine and prescription medication was 6%. Bitter leaves (10%), mangosteen peel (8.9%), insulin leaves (7.9%), mahkota dewa herbs (6.3%), and bitter melon are used as herbal or traditional medicines (4.7%). In terms of satisfaction, 28.7%, 40.9%, and 14.4% of respondents were quite satisfied, satisfied, and very satisfied with the use of herbal medicines, respectively. Herbal remedies are commonly used in alternative diabetes treatments. Bitter leaves are the most frequently used herb, with over half of respondents expressing satisfaction with the benefits of herbal medicine.