Rethinking al-Amr bi l-Ma‘ruf wa n-Nahy ‘an al-Munkar:Etika Politik dalam Bingkai Post-Islamisme
2011
Ada perasaan sedih saat menangkap kesan ketidakpercayaan atau keheranan beberapa peserta
workshop agamawan non-Muslim di Kaliurang pada paruh akhir dekade 2000-an terhadap
presentasi saya yang mendiskusikan amar ma‘ruf dan nahy munkar dengan gambaran yang positif.1
Dalam bayangan mereka konsep ini terkait dengan penggunaan kekerasan atas nama agama,
sebagaimana yang mereka lihat di televisi di mana sekelompok orang berbaju putih-putih dengan
garang membawa pentungan, batu atau bahkan parang merusak kafe, restoran, atau hotel atau
menyerang kelompok-kelompok keagamaan yang mereka pandang “sesat”. Dengan meneriakkan
“Allahu akbar” mereka melakukan kekerasan. Saya tidak menyalahkan mereka itu, dan banyak orang
lainnya, karena fakta itu memang ada, dan bahkan setelah Reformasi, fenomena ini menjamur di
mana-mana. Saya sedih karena betapa ajaran profetik yang luhur ini telah dipahami oleh sebagian
saudara seiman saya sebagai ajaran yang menghalalkan cara-cara kekerasan yang menurut standard
etika publik tidak dapat diterima sebagai perilaku orang beriman. Bukan hanya non-Muslim, banyak
orang tua Muslim pun khawatir terhadap gejala semacam ini, karena anak-anak mereka dapat saja
beranggapan bahwa begitulah seharusnya Muslim yang baik, suka melakukan kekerasan. Ajaranajaran
kebaikan dan akhlak luhur yang mereka ajarkan di rumah, atau diajarkan di sekolah, TPA dan
masjid, rontok hanya karena melihat tayangan kekerasan di televisi-televisi, di koran dan di internet.
Hal ini ditambah dengan “pembiaran” negara terhadap kasus-kasus kekerasan semacam itu.
Intelejen dan polisi sudah mengetahui aksi-aksi kekerasan akan terjadi, namun mereka sebagai aparat
berwenang tidak mencegah agar kekerasan ini tidak terjadi. Dan bahkan dalam sejumlah kasus
terdapat indikasi adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum mendukung aksi-aksi semacam
itu dari balik layar. Selain itu, tak sedikit tokoh agama yang ikut-ikutan melegitimasi penggunaan
kekerasan sebagai tindakan yang “Islami”, dengan alasan adanya kemaksiatan di sana. Dengan
retorika hiperbolik, mereka menggambarkan kondisi kemaksiatan sudah mengancam martabat
manusia.2 Berbagai dalil atau dalih keagamaan mereka keluarkan untuk melegalkan tindak kekerasan
itu. Seringkali kita mendengar khutbah, ceramah, atau wawancara di media di mana mereka
memojokkan para Muslimin lain yang tidak bersikap seperti mereka sebagai orang-orang yang
beriman lemah, dan sebagai para pendosa yang dapat menurunkan azab Tuhan dalam bentuk
berbagai bencana. Ummat awam menjadi bingung sikap siapa yang sebenarnya ma‘ruf. Muncul
kesan tidak sehat bahwa, dalam Islam, semakin religius seseorang semakin ringan pula dia
melakukan kekerasan. Tentu ini tidak benar.
Ada masalah pemahaman etika politik (al-akhlaq al-siyasiyah) di sini, dan oleh karena itu
adalah penting untuk melihat konsep amar ma‘ruf dan nahy munkar (al-amr bi l-ma‘ruf wa n-nahy ‘ani lmunkar)
dalam konteks etika politik. Etika politik bertujuan, sebagaimana dikatakan Ricoeur, untuk
mengarahkan ke kehidupan yang baik, bersama dan untuk orang lain, dan dalam rangka memperluas
lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.3 Dalam konteks ini, saya
berargumen bahwa sesungguhnya amar ma‘ruf dan nahy munkar itu adalah bagian dari “etika publik”,
yang dipahami sebagai “etos, cara berada dan cara menilai yang khas pada suatu masyarakat yang
tidak bisa disamakan dengan suatu doktrin atau agama tertentu, melainkan mengelompokkan atau
menciptakan konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia. Etos ini yang
memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan. Ia mencakup tujuan,
nilai dan norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik maupun
institusi-institusi politik.”4 Oleh karena itu, ma‘ruf dan munkar bukanlah didefinisikan oleh agama,
melainkan oleh “konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia”... “yang memungkinkan
pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan...” yang mencakup “tujuan, nilai dan
norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik.” Ketika menyebut
ma‘ruf dan munkar, saya merujuk kepada pengertian ini.5 Selain itu, saya akan membawa konsep ini
dari paradigma Islamisme ke “post-Islamisme”, sebagaimana disarankan oleh Asef Bayat.
Keywords:
- Correction
- Source
- Cite
- Save
- Machine Reading By IdeaReader
8
References
0
Citations
NaN
KQI