RELASI ANTARA MASYARAKAT PETANI TEBU DAN NEGARA, SERTA KORPORASI PASCA PROGRAM TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI (TRI)

2018 
Studi ini, mengkaji relasi antara masyarakat petani tebu, negara dan korporasi, pasca Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Petani tebu pada masa program TRI (1975-1997/1998), masa Inpres No. 9 tahun 1975, menjadi subordinat pabrik gula (PG) dengan keterbatasan akses komunikasi dan informasi. Masa itu tidak ada asosiasi petani tebu yang mewadahi aspirasi petani. Di sisi lain petani tebu juga terkekang oleh kebijakan pemerintah seperti “glebagan” yang mengatur luas areal tebu rakyat, penggilingan tebu hanya pada PG di wilayahnya, dan penentuan rendemen oleh PG. Relasi ini menjadikan petani tidak bebas menentukan pendapatannya. Perubahan sistem penanaman tebu masyarakat petani tebu terjadi ketika terbit UU No. 12 tahun 1992 yang membebaskan petani memilih komoditas, dilanjutkan dengan Inpres No. 5 tahun 1997 dan Inpres No. 5 tahun 1998, yang mencabut Program TRI Penelitian ini dilakukan di wilayah PG Kedawung, Kabupaten Pasuruan, wilayah PG Kebonagung, Kabupaten Malang, dan wilayah PG Ngadirejo, Kabupaten Kediri, tahun 2014, sebagai penelitian kualitatif. Pengumpulan data secara in depth interview, pengumpulan dan analisis dokumen, dengan informan 14 orang petani, 5 orang pengurus APTR/KPTR/Kelompok tani, 6 orang petugas Dinas Perkebunan Kabupaten, dan 9 orang petugas PG. Studi ini menunjukkan bahwa pasca Program TRI, relasi antara petani terhadap PG cenderung terbuka dan menguat, karena sesuai UU Budidaya Pertanian No. 12 tahun 1992 petani bebas menanam komoditas pertanian serta dicabutnya Program TRI tahun 1998 merubah relasi petani tebu dan PG menjadi kemitraan, dan lahirnya asosiasi petani tebu (APTR) memfasilitasi petani tebu. Perlawanan petani tebu kepada PG berbentuk gerakan-gerakan, misalnya tidak melakukan peningkatan kualitas budidaya tebu, membongkar tanaman tebu, melakukan demo di PG bahkan di Kementerian Perdagangan di Jakarta karena harga gula dianggap tidak berpihak kepada petani. Namun lahirnya APTR tidak serta merta memberikan dukungan, bantuan, fasilitasi kepada petani tebu dalam berhadapan dengan institusi terkait. Hegemoni terhadap petani masih terjadi khususnya akibat tindakan sepihak PG (dalam penentuan rendemen) dan negara dalam kebijakan harga gula. Temuan ini menguatkan konsep-konsep hegemoni Antonio Gramsci. Hadirnya APTR ternyata tidak sepenuhnya atau serta merta memperkuat relasi petani terhadap PG dan pemerintah pasca Program TRI.
    • Correction
    • Source
    • Cite
    • Save
    • Machine Reading By IdeaReader
    0
    References
    0
    Citations
    NaN
    KQI
    []