Pandangan Imam Syarfi'i dan Hanafi Dalam Kasus Pernikahan Wanita Hamil Karena Zina

2014 
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dan dianjurkan mencari pasangan sesuai syariat dan dalam ikatan tali perkawinan agar dapat memelihara seseorang dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti perzinahan. Perzinahan adalah perbuatan yang tercela dan tergolomg kejahatan, karena dapat merusak hubungan, tercampurnya keturunan dan hilangnya rasa malu. Kasus perzinahan yang berdampak pada hamilnya pelaku wanita mengakibatkan munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahannya, baik dengan lelaki pasangan zinanya atau dengan lelaki lainnya. Menurut Imam Syafi’i menikahkan wanita hamil karena dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang bukan menzinainya dibolehkan dan akad nikahnya sah tanpa ada persyaratan taubat dan melahirkan sebelum menikah, akan tetapi apabila yang menikahinya bukan yang menghamilinya dilarang untuk berhubungan badan sampai melahirkan. Adapun menurut Imam Ahmad bin Hanbal tidak sah nikahnya kecuali bertaubat dan melahirkan sebelum melakukan pernikahan. Apabila keduanya melangsungkan pernikahan tanpa bertaubat maka nikahnya tidak sah dan dibatalkan, sampai dua syarat di atas terpenuhi maka pernikahan dapat dilangsungkan kembali. Perbedaan pendapat Imam Madzhab ini dipicu oleh pemahaman yang berbeda pada ayat ketiga dari surat An-Nur, sedangkan keduanya bertemu pada satu titik temu yaitu, tentang nasab, harta warisan, dan wali nikah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam membolehkan untuk menikahi wanita hamil karena zina tanpa harus menunggu kelahiran anak tersebut.
    • Correction
    • Source
    • Cite
    • Save
    • Machine Reading By IdeaReader
    0
    References
    0
    Citations
    NaN
    KQI
    []