Analisis faktor-faktor risiko kejadian Filariasis di Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo

2007 
Latar Belakang: Filariasis yang dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau elepanthiasis termasuk salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya daerah pedesaan. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin dengan tidak membedakan jenis kelamin. Dampak lanjut dari kondisi ini, penderita tidak dapat bekerja secara optimal,dan selalu tergantung pada orang lain. Penyakit ini memberikan dampak sosial budaya, mental (psychologis) serta dampak ekonomi. Dari lima kabupaten di seluruh kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Gorontalo. Kabupaten Bonebolango menunjukan endemisitas yang paling tinggi. Berdasarkan survey Dinas Kesehatan provinsi tahun 2002, ditemukan 105 positif mikrofilaria (mf rate=34,4%) dari 326 yang diperiksa sediaan darah di Kecamatan Boneraya. Hal ini melewati batas endemisitas suatu wilayah, mf rate >1% yang merupakan ancaman bagi kestabilan ekonomi di daerah tersebut. WHO mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020. Indonesia menindak lanjuti dengan menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu program prioritas pemberantasan penyakit menular. Faktor lingkungan (lingkungan berawa), perilaku (tidak memakai kelambu, tidak memakai lengan panjang) dan sosial budaya (pengetahuan rendah) merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis. Tujuan : Untuk mengetahui faktor–faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo Metode : Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan rancangan studi kasus kontrol (case control-study). Untuk mengetahui estimasi besarnya faktor resiko terhadap kejadian filariasis ditentukan dengan nilai Odds ratio (OR). Wawancara dilakukan pada responden dengan hasil positif mikrofilaria dan kontrol yang sebanding. Besar sampel seluruhnya adalah 140 responden. Analisis data dilakukan dengan Chi square dan logistic regression. Hasil: Dari hasil analisis Univariat dan Bivariat menunjukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis adalah faktor perilaku yaitu kebiasaan tidak memakai kelambu (OR=11,5),tidak memakai kasa ventilasi (OR=2,078),kebiasaan tidak memakai lengan panjang (OR=2,443) dan sosial budaya (pengetahuan rendah OR=2,004), faktor lingkungan berawa (OR=2,215), Namun pada analisis Multivariat yang menjadi faktor risiko adalah perilaku dengan kebiasaan tidak memakai kelambu (OR=9,568 ), kebiasaan tidak memakai lengan panjang( OR=2,870 ), faktor sosial budaya (pengetahuan rendah, OR= 2,485) dan lingkungan berawa (OR=3,563) Kesimpulan : Faktor perilaku (tidak memakai kelambu, tidak memakai lengan panjang),sosial budaya (pengetahuan rendah) dan lingkungan (lingkungan rawa) merupakan faktor risiko kejadian filariasis. Background: According to WHO report 2001 filariasis, commonly known as elephantiasis, is one of communicable disease which still becomes a public health problem in Indonesia, particularly in rural areas. Filariasis disease can cause permanent deformity, i.e. swollen legs, arms and genital regardless of sexes. Further impact of such a condition is that the sufferers cannot work normally and depend their lives to others. Filariasis disease brings great social, cultural, economic and psychological impact. Out of five districts in the province of Gorontalo, District of Bonebolango shows the highest endemy. The report shows that out of 326 people whose blood has been examined, 105 turn out to be positive (mf rate=34.4%). They are concentrated at one subdistrict, i.e. subdistrict of Boneraya (survey 2002), exceeding endemic borderline of an area with mf rate
    • Correction
    • Source
    • Cite
    • Save
    • Machine Reading By IdeaReader
    0
    References
    2
    Citations
    NaN
    KQI
    []