Konsep ma’rifat menurut Imam Al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (studi komparatif)

2014 
Ma‘rifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw. Ma’rifat merupakan hal yang sangat penting, hal ini berdasar bahwa Allah SWT menciptakan alam dan segala isinya termasuk, Jin, Manusia, dan Malaikat, dengan tujuan agar mereka semuanya menyembah-Nya. Maka apabila mereka belum mengenali siapa yang harus disembahnya, ia harus mencari-Nya hingga dapat berkenalan dengan-Nya. Sebab jika makhluknya tidak mengenal Sang Pencipta, maka bagaimana bisa menyembah-Nya, memuji-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat eksoteris (z}ahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (bat}iniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan.Salah satu perbedaan antara ma’rifat dan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung dan berfikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis. Jadi, manusia betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh objek pengetahuannya.Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung pada kemurahan Allah SWT. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’da>d) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela. Dalam skripsi ini peneliti membandingkan antara konsep ma’rifat menurut Imam al-Ghaza>li dan Syaikh `Abdul Qa>dir al-Ji>la>ni>. Memakai metode penelitian komparatif. Terdapat pola yang berbeda dalam perolehan anugerah ma’rifat kedua tokoh tersebut. Imam al-Ghaza>li berangkat dari pergolakan intelektual yang tidak merasakan kepuasan terhadap keilmuan yang ia kuasai. Sehingga muncul kegelisahan psikologis, kemudian ia hijrah, membersihkan diri (tazkiyat an-nafs) memulai hidup dengan karakter kuat tasawuf, dan pada akhirnya diterangilah hatinya oleh Allah SWT sehingga tidak ada keraguan lagi pada dirinya. Sedangkan Syaikh `Abdul Qa>dir al-Ji>la>ni> menemukan ma’rifatnya karena memang dari awal kehidupannya dia sangat konsisten dengan gerakan syari’at dan latihan-latihan spiritual (riyad}ah). Dan tidak mengherankan sebab konsistensinya tersebut kemudian Allah SWT memberikan anugerah kema’rifatan kepadanya. Al-Ghaza>li memiliki rumusan dengan ciri-ciri dan batasan-batasan yang jelas, teori yang komplementer dan komprehensif, secara rinci al-Ghaza>li telah berhasil membahas pengetahuan mistis dari segi pencapaiannya, metodenya, objeknya, dan tujuannya. Sedangkan Syaikh `Abdul Qa>dir al-Ji>la>ni> lebih kepada memperhatikan amalan-amalan guna untuk mempersiapkan datangnya ma’rifat dari Allah SWT. Penekanan lebih kepada sisi akidah, latihan-latihan spiritual (riyad}ah) dan perjuangan untuk melawan hawa nafsu (muja>hadah) yang kemudian diaplikasikan melalui organisasi tarekat. Ma’rifat didapatkan melalui proses yang panjang, yakni dengan riya>d}ah, muja>hadah, dan tazkiyat an-nafs, dan pastinya konsisten menjalankan syari’at. Selanjutnya, ma’rifat yang didapat akan membawa kebebasan dan keselamatan dari semua kungkungan yang bersumber dari kelalaian dan nafsu syahwat. Pada akhirnya, perolehan anugerah ma’rifat harus diaktualisasikan tidak hanya berhenti dalam menghayati eksistensi Tuhan, tetapi juga lebih diarahkan untuk menghayati perintah-perintah Tuhan. Oleh karena itu harus lebih bersifat praktis, sosiologis, historis, populis dan empiris (membumi).
    • Correction
    • Source
    • Cite
    • Save
    • Machine Reading By IdeaReader
    0
    References
    0
    Citations
    NaN
    KQI
    []