This study aims to determine the characteristics of marine debris at Malalayang Beach, Manado City, North Sulawesi Province, the marine debris collected comes from underwater and the intertidal zone. Underwater waste is collected through Scuba Dive divers, while intertidal marine debris is collected by combing along the shoreline. The method used in this study is a cruising survey with depth limits and quadrant sampling locations. The waste obtained is then sorted and weighed to obtain data for each group of waste. The condition of the marine debris on the land is much more where there are 9 groups of marine debris with an average weight value of 5.16 kg, while in the sea there are only 7 groups of marine debris with an average weight of 2.34 kg. The total weight of marine debris on the land side is still much higher at 72.30 kg, while in the sea it is only 32.70 kg.Keywords: Marine Debris; Coastal; MalalayangAbstrakKajian ini bertujuan untuk megetahui karakterisitik sampah laut pada daerah pesisir Pantai Malalayang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Sampah yang dikumpulkan berasal dari bawah air dan zona intertidal. Untuk sampah yang ada dibawah air dikumpulkan melalui penyelam Scuba Dive, sedangkan sampah daerah intertidal dikumpulkan dengan cara meyisir sepanjang garis pantai. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survei jelajah dengan batasan kedalaman dan kuadran lokasi sampling. Sampah yang didapatkan kemudian dipilah dan ditimbang untuk mendapatkan data masing-masing kelompok sampah. Kondisi sampah pada bagian darat jauh lebih banyak dimana terdapats 9 kelompok sampah dengan nilai rata-rata berat sampah sebesar 5,16 kg, sedangkan pada bagian laut hanya ditemukan 7 kelompok sampah dengan rata-rata berat sebesar 2,34 kg. Total berat sampah pada bagian darat masih jauh lebih tinggi yaitu sebesar 72,30 kg, sedangkan pada bagian laut hanya sebesar 32,70 kg.Kata kunci: Sampah Laut; Pesisir; Malalayang
ABSTRAKKajian ini bertujuan untuk menganalisa struktur komunitas dan keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Nain Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau Nain adalah salah satu pulau yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken dan memiliki kawasan budidaya rumput laut yang masih produktif. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer. Data yang dibutuhkan dalam kajian ini meliputi data dimensi ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah RAPMECS (Rapid Appraisal for Mangroves Ecosystem) dengan analisis multy dimensional scaling (MDS). Hasil yang diperoleh dari kajian ini adalah luasan mangrove Pulau Nain sebesar 4.40 ha, memiliki dua jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata dan Avicennia marinna masing-masing dari family Avicenniaceae dan Rhizophoraceae. Indeks nilai penting (INP) jenis tertinggi terlihat pada jenis Rhizophora apiculata (79.64%) sedangkan jenis Avicennia marinna (79.64%). Ekosistem mangrove Pulau Nain dalam kondisi yang baik, tapi secara kuantitas belum optimal sebagai buffer sistem lingkungan pesisir. Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Nain menunjukkan angka 46,89 yang berarti status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pulau ini berada dalam kondisi cukup baik. Keterisolasian pulau, luasan mangrove yang kecil, luas pulau yang kecil dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia membuat pulau ini memiliki nilai yang kurang baik untuk keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove Pulau Nain. Pemantauan secara berkala dan strategi pengelolaan yang baik dapat meningkatkan indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove serta meningkatkan kapasitas lingkungan pesisir Pulau Nain.ABSTRACTThe aims of this study are to analyze the community structure and sustainability of mangrove ecosystem management in Nain Island, Wori District, North Minahasa, North Sulawesi Province. Nain Island is one of the islands rlocated in Bunaken National Park conservation area and has productive seaweed cultivation area. This study used secondary and primary data. Data required in this study are included dimension data of ecological, socio-economic, and institutional. The analysis that used in this study was RAPMECS (Rapid Appraisal for Mangroves Ecosystem) through multy dimensional scaling (MDS) analysis. The results obtained from this study are mangroves area in Nain Island was 4.40 ha, has two types of mangroves Rhizophora apiculata and Avicennia marinna respectively belong to family Avicenniaceae and Rhizophoraceae. The highest species importance value index (INP) wasfound in Rhizophora apiculata (79.64%) while Avicennia marinna (79.64%). Mangrove ecosystem in Nain Island are in good condition, but in quantity not yet optimal as buffer for coastal environment system. The sustainability status of mangrove ecosystem management of Nain Island shows 46.89 which means that the sustainability status of mangrove ecosystem management of this island is in fair condition. Isolation of island small mangrove areas, small islands and low quality of human resources make this island has a poor value for the sustainability of mangrove ecosystem management. Regular monitoring and good management strategies can improve the sustainability index of mangrove ecosystem management and increase the capacity of the coastal environment of Nain Island.Sitasi: Schaduw J.N.W. (2018). Struktur Komunitas Dan Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pulau-Pulau Kecil (Kasus Pada Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara). Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(2), 120-129,doi:10.14710/jil.16.2.120-129
Indonesia’s mangrove forest is decreasing. Factors affecting this condition are excessive utilization for livelihood and market demand without considering its sustainability for the future. As a result, mangrove forest degrades year by year. The present study aimed to analyse which stakeholder is the priority for mangrove ecosystem management in the city of Sorong, West Papua, Indonesia, and which factors are the priority for sustainable management. Primary data were collected using questionnaire with interview technique and were analysed using Expert Choice 11 software. The result showed that local government was the stakeholder possessing major priority in management which was supported by others (community and NGO), and the ecological factor was the priority in management, while the economic, social, and institutionalfactors were the supporting factors for sustainability. Luas hutan mangrove di Indonesia sedang mengalami penurunan. Faktor yang mempengaruhi kondisi ini, yaitu pemanfaatannya secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhanan hidup maupun permintaan pasar tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya di masa depan. Sebagai akibatnya tutupan hutan mangrove semakin berkurang dari tahun ke tahun. Penelitian ini bertujuan menganalisis stakeholder manakah yang menjadi prioritas dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kota Sorong, Papua Barat, Indonesia, dan faktor manakah yang menjadi prioritas dalam pengelolaan secara berkelanjutan. Data primer dikumpulkan menggunakan angket dengan teknik wawancara, dan kemudian dianalisis menggunakan software Expert Choice 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder Pemda merupakan prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove dan ditopang oleh stakeholder lainnya (Masyarakat dan LSM), dan faktor prioritas dalam pengelolaan adalah ekologi, sedangkan faktor ekonomi, sosial, dan kelembagaan merupakan faktor pendukung untuk terciptanya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
Brachyura crabs, especially coastal crabs, live in the intertidal zone with zone shape sandy beaches, muddy beaches, and rocky beaches. The colors on the crab’s carapace are caused by the presence of carotenoid pigments. The purpose of the study was to identify crabs morphologically and morphometrically. The sampling location was in Buloh Beach, Tateli Weru Village, Mandolang District, Minahasa Regency, North Sulawesi Province. Sampling using the cruise method, which is a research activity carried out by tracing the coastal area at the lowest tide by capturing organisms as samples directly. The crab samples found then morphologically identified by observing the color and shape of the carapace, claws, walking legs, presence of spines on the carapace, carapace size, abdomen shape, the characteristics of the leg organs presence of hair (setae), and morphometric calculations were also carried out. Based on the morphology of the crabs found, namely: Grapsus albolineatus (Latreille in Milbert, 1812), Atergatis floridus (Linnaeus, 1767), Pilumnus vespertilio (Fabricius, 1793), and Uca (Galasimus) tetragonon (Herbst, 1790)Keywords: Buloh Beach; Brachyura; Morphology; morphometrically; DiversityAbstrakKepiting brachyura khususnya kepiting pesisir hidup di zona intertidal dengan bentuk zona pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu. warna-warna pada karapas kepiting disebabkan karena adanya kandungan pigmen karotenoid. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi kepiting secara morfologi dan morfometrik. Lokasi pengambilan sampel di Pantai Buloh, Desa Tateli Weru, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Pengambilan sampel menggunakan metode jelajah (cruise methods) yaitu suatu kegiatan penelitian dilakukan dengan menelusuri daerah pesisir pantai saat surut terendah dengan menangkap organisme sebagai sampel secara langsung. Sampel kepiting yang ditemukan kemudian dilakukan identifikasi morfologi dengan memperhatikan warna dan bentuk karapas, capit, kaki jalan, keberadaan duri pada karapas, ukuran karapas, bentuk abdomen dan ciri-ciri organ kakinya seperti keberadaan rambut (setae), serta dilakukan perhitungan morfometrik. Berdasarkan identifikasi morfologi kepiting yang ditemukan, yaitu: Grapsus albolineatus (Latreille in Milbert, 1812), Atergatis floridus (Linnaeus, 1767), Pilumnus vespertilio (Fabricius, 1793), dan Uca (Galasimus) tetragonon (Herbst, 1790).Kata kunci : Pantai Buloh; Brachyura; Morfologi; Morfometrik; Keanekaragaman
The coastal area is a potential resource in Indonesia, is an intermediate area between the mainland and Ocean. This resource is very large which is supported by the existing coastline 81,000 km long. Long coastline This holds the potential for a large wealth of natural resources. The potential including biological and non-biological potential. in addition to the potential for natural resources that are widespread on the coast of Indonesia, potential pollution to the coastal and marine environment has quite a big opportunity. this opportunity could be caused by Indonesia's population density, high tourist activity including transportation, and major construction. As for the goal This study aims to identify the type and amount of waste inorganic in the Bunaken coastal mangrove ecosystem in the eastern part and identify the size and weight characteristics of inorganic waste in the mangrove ecosystem. The method used The result of this research is the coastline survey method methodology based on NOAA (2013) and line transects with taking 2 stations. This research was conducted for three months, which at each station has 1 transect line, each of which has 5 plots/sampling plots. Transect lines are carried out in parallel coastline along 50 meters of trash in the mangrove forest the distance between stations is 50 m, where the transect line must be located represents the research area. The data taken next is back analysis with the help of a computer program MS Excel The types of marine debris found at the research location are plastic, rubber, metal, and glass waste. The total size of the litter type which was found at the research location showed 2 characteristics, namely mega- debris and macro-debris. The most dominant type of waste is plastic waste.Keywords: Inorganic waste, Mangrove, East BunakenAbstrak Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, adalah daerah peralihan antara daratan dan lautan.Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar81.000 km. Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar.Potensi itu diantaranya potensi non hayati dan hayati.Disamping potensi sumberdaya alam yang tersebar luas di pesisir Indonesia, potensi pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut pun memilik i peluang yang cukup besar.Peluang ini dapat disebabkan oleh padatnya penduduk Indonesia, aktifitas wis ata yang cukup tinggi termasuk transportasi, dan pembangunan yang besar. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu Mengidentifikasi jenis dan jumlah sampah anorganik yang berada di ekosistem mangrove pantai Bunaken bagian timur Dan Mengidentifikasi karakteristik ukuran dan berat sampah anorganik pada ekosistem mangrove. Metode yang dipakai dalam hasil penelitian ini adalah metode shoreline survey methodology berdasarkan NOAA (2013) dan Line transect dengan mengambil 2 stasiun . Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimana dalam setiap stasiun terdapat 1 line transect yang masing–masing memilik i 5 petak/plot pengambilan sampel. Jalur transek dilakukukan sejajar garis pantai sepanjang 50 meter adanya sampah pada mangrove jarak antar stasiun adalah 50 m, dimana jalur transek tersebut harus mewakili wilayah penelitian. Data yang di ambil selanjutnya d i analisa kembali dengan bantuan program komputer MS Excel Jenis sampah laut yang ditemukan pada lokasi penelitian berupa sampah plastik, karet, logam, dan kaca. Jumlah ukuran jenis sampah yang terdapat di loksasi penelitian menunjukan bahwa terdapat 2 karakteristik yaitu mega-debris dan macro-debris. Jenis sampah yang paling dominan adalah sampah plastik.Kata Kunci: Sampah Anorganik, Mangrove, Bunaken Timur.
Mangrove merupakan tumbuhan yang unik dan khas karena mampu bertahan hidup pada daerah yang ekstrim dengan kadar salinitas yang tinggi. Mangrove juga sering disebut dengan tumbuhan pasang-surut karena pertumbuhanya dipengaruhi oleh pasang-surut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode line transek kuadran dengan menentukan tiga titik pengamatan (stasiun) pengambilan sampel, dan untuk mengetahui kondisi mangrove maka dilakukan perhitungan kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis, dominasi, indeks nilai penting dan keanekaragaman. Untuk fariabel lingkungan dilakukan beberapa pengukuran yaitu pengukuran suhu, salinitas dan juga melihat tipe substrat yang ada di Kampung Bahowo. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa jenis mangrove yang memiliki nilai kerapatan tertinggi yaitu Rhizophora apiculata, dan untuk nilai frekuensi tertinggi juga yaitu jenis Rhizophora apiculata, sedangkan untuk nilai dominasi tertinggi dimiliki oleh jenis Sonneratia alba. Dan untuk keanekaragaman yang ada di Kampung Bahowo masih menunjukan nilai yang rendah. Kisaran suhu di Kampung Bahowo yaitu sekitar 29-30°C, sama halnya dengan kisaran salinitas yaitu 29-30 ppt dan untuk substrat yang mendominasi yaitu berlumpur, ini yang menyebabkan jenis Rhizophora apiculata banyak ditemukan dibandingkan dengan jenis lain.
This study aims to identify the type, size dimension, and composition of nematocysts from the Scleractinia coral, Stylophora subseriata. This study was carried out from March to May 2023. Observations and measurements of nematocyst cells were conducted using an Optika 4083 B3 microscope connected to a computer equipped with Optika View 7 software. S. subseriata has three main types of nematocyst, i.e., type I micro basic p-mastigophore (MpM- I), type II micro basic p-mastigophore (MpM-II) and micro basic b-mastigophore (MbM). Type MpM-I has an average capsule length of 182.10 µm, capsule width of 38.98 µm, and shaft length of 76.45 µm; MpM-II has an average capsule length of 166.72 µm, capsule width of 41.60 µm, and shaft length of 108.48 µm; and MbM has an average capsule length of 154.84 µm and capsule width of 30.96 µm. The nematocysts composition consists of MpM-I 26.67 %, MpM-II 23.33 %, and MbM 50.00 %. The MbM type is nematocyst dominant in this coral species. Future study is recommended to examine the comparative characteristics of nematocysts from S. subseriata with other species of corals in the same genus to determine the specific nematocyst of each type of coral with the role of their particular types of nematocyst. Keywords: Bulutui coast, nematocyst, North Minahasa, Scleractinia, Stylophora subseriata Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe, dimensi ukuran dan komposisi nematosit dari karang Scleractinia, Stylophora subseriata. Studi ini dilakukan dari Maret - Mei 2023. Pengamatan dan pengukuran sel nematosit dilakukan menggunakan mikroskop Optika 4083 B3 yang terhubung dengan komputer yang dilengkapi software Optika View 7. S. subseriata memiliki tiga tipe nematosit utama, yaitu microbasic p-mastigophore tipe I (MpM-I), microbasic p-mastigophore tipe II (MpM-II) dan microbasic b-mastigopore (MbM). Tipe MpM-I memiliki rata-rata panjang kapsul 182,10 µm, lebar kapsul 38,98 µm, dan panjang tangkai 76,45 µm; MpM-II memiliki rata-rata panjang kapsul 166,72 µm, lebar kapsul 41,60 µm, dan panjang tangkai 108,48 µm; serta MbM dengan panjang kapsul 154,84 µm dan lebar kapsul 30,96 µm. Komposisi nematositnya terdiri dari MpM-I 26,67 %, MpM-II 23,33 % dan MbM 50.00 %. Tipe MbM adalah nematosit yang dominan dalam spesies ini. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti perbandingan antara karakteristik nematosit dari S. subseriata dengan jenis karang lainnya dalam satu genus untuk mengetahui nematosit spesifik dari masing-masing jenis karang tersebut sehubungan dengan peran dari tipe-tipe nematosit spesifiknya. Kata kunci: Minahasa Utara, nematosit, Pesisir Bulutui, Scleractinia, Stylophora subseriata
Indonesia is known as a maritime country that is rich in various marine biota, both flora and fauna, for example such as seagrass, in the world there are 60 species of seagrass and 12 species are found in Indonesia. This study aims to determine the community structure and percentage of seagrass cover in the waters of Pinasungkulan Village, Tombariri District, Minahasa Regency, this study used the seagrass watch method, observations were made at 2 station points (ST.1 and ST.2) using the equation formula from Cox, 1967. In the waters of Pinasungkulan Village there are 3 types of seagrass, namely Enhalus acoroides, Halodule pinifolia and Cymodocea rotundata. The percentage of seagrass cover in ST.1 was 22.54% and ST.2 was 28.22%, the average value obtained from these two stations was 25.38%. Overall, the community structure of ST.1 species Halodule pinifolia has the highest important value index of 143.46% and ST.2 species Cymodocea rotundata which has the highest important value index of 133.24%. Parameters in the waters of Pinasungkulan Village, Tombariri District, Minahasa Regency have a normal pH and a stable temperature with sand and silt as a substrate.
Keywords: seagrass, percentage cover, community structure
ABSTRAK
Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang kaya dengan berbagai biota laut baik flora maupun fauna contonya seperti lamun, di dunia terdapat 60 jenis lamun dan 12 jenisnya terdapat di Indonesia. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas dan persentase tutupan lamun di perairan Desa Pinasungkulan Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa, penelitian ini menggunakan metode seagrass watch, pengamatan dilakukan pada 2 titik stasiun (ST.1 dan ST.2) dengan menggunakan rumus persamaan dari Cox, 1967. Di perairan Desa Pinasungkulan terdapat 3 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Halodule pinifolia dan Cymodocea rotundata. Hasil tutupan persentase lamun pada ST.1 yaitu 22,54% dan ST.2 yaitu 28,22%, nilai rata-rata yang diperoleh dari kedua stasiun ini yaitu 25,38%. Secara keseluruhan struktur komunitas dari ST.1 jenis Halodule pinifolia memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu 143,46% dan ST.2 jenis Cymodocea rotundata yang memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu sebanyak 133,24%. Parameter di periran Desa Pinasungkulan Kecamatan Tombariri Kabupaten minahasa memiliki pH normal dan suhu yang stabil dengan substrat pasir dan pasir lumpuran.
Kata kunci: lamun, Tutupan persentase, struktur komunitas
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologi dan sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir, mempertahankan fungsi ini merupakan langkah mempertahankan fungsi ekosistem disekitarnya diantaranya terumbu karang dan padang lamun. Kajian ini menganalisa kondisi kualitas perairan ekosistem mangrove yang ada pada empat pulau kecil di Taman Nasional Bunaken (Pulau Bunaken; Pulau Manado Tua; Pulau Mantehage; Pulau Nain) dan korelasi karakterisitik kualitas air pulau-pulau tersebut (suhu, salinitas, kekeruhan, total suspended solid, pH, Dissolved Oksigen, NO3-N, dan PO4-P) dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), kajian ini menggunakan instrumen pengukuran kualitas air in situ dan ex situ di laboratorium. Selain itu, hasil kualitas air ini akan dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah pada ekosistem mangrove, hal ini sebagai bahan pertimbangan pengelolaan ekosistem mangrove dimasa yang akan datang. Hasil yang diperoleh dari kajian ini adalah kualitas air keempat pulau ini masuk dalam kategori baik dan dapat mendukung kelangsungan hidup biota yang berasosisi didalamnya. Korelasi karakteristik kualitas air sebesar 94%, faktor utama 1 (F1) 79,33% dan faktor utama 2 (F2) 14,22% dengan penciri utama suhu, PO4-P, dan salinitas, dendogram menunjukkan adanya dua tingkatan hubungan kekerabatan dimana Pulau Nain dan Pulau Manado Tua memiliki kekerabatan kondisi perairan yang sama, diikuti Pulau Bunaken dan Mantehege. Kondisi ini harus dipertahankan dan dimonitoring secara berkala mengingat Taman Nasional Bunaken banyak mendapat tekanan dari aktivitas antropogenik dan perubahan iklim global. Mangrove ecosystems have ecological and socio-economic functions for coastal communities, preserve these functions is a step to maintain the function of adjacent ecosystems including coral reefs and seagrass beds. This study analyzed the water quality conditions of mangrove ecosystem within four small islands in Bunaken National Park (Bunaken Island, Manado Tua Island, Mantehage Island and Nain Island) and water quality characteristic correlation among these islands (e.g. temperature, salinity, turbidity, total suspended solid, pH, Dissolved Oxygen, NO3-N, and PO4-P) using Principal Component Analysis (PCA), this study used laboratory in situ and ex situ water quality measurement instruments. In addition, the results of this water quality then compared with the government standard quality for mangrove ecosystem water quality, this is a consideration for the management of mangrove ecosystems in the future. The results obtained from this study shows the water quality of these four islands in the category of good and can support the existence of associate biota that live in it. The correlation of water quality characteristic was 94%, main factor 1 (F1) 79,33% and main factor 2 (F2) 14,22% with main characteristics are temperature, PO4-P, and salinity, grouping these characteristics through dendogram showed two levels of relationship where Nain Island and Manado Tua Island have the same relationship of their water condition, followed by Bunaken Island and Mantehege. This condition must be maintained and monitored regularly as Bunaken National Park is under considerable get pressure from anthropogenic activities and global climate change.
This research aims to describe the ecological, socio-economic, institutional, and infrastructural conditions. Primary data collection was carried out through direct observation in the field, measuring the potential of mangrove forests, observing biota, and conducting direct interviews with local communities and relevant stakeholders. Secondary data collection was conducted by gathering documents from previous studies/research, legislation, and other supporting data. Four types of mangroves were found: Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, and Avicennia marina. The highest species density was Rhizophora apiculata with 6.56 individuals/m², the highest species frequency was 1 for Rhizophora apiculata, the highest species coverage value was Sonneratia alba at 34.02, and the highest Importance Value Index (IVI) was Rhizophora apiculata at point 3 with a value of 226.98. The mangrove diversity index (H') was 2.66, indicating a moderate category and the highest evenness index was at point 2, with a value of 0.92. The Mangrove Tourism Suitability Index (IKW) value was 2.36, indicating a Suitable category. The mangrove area in Pinasungkulan Village can accommodate a 350 square meter mangrove tracking area. The Area Carrying Capacity (DDK) is 56 people per day, with an operational time of 8 working hours per day. The study on community perceptions regarding the benefits of the mangrove ecosystem and its potential to be developed as an ecotourism destination is very positive, and it is expected that this can improve the community's welfare in Pinasungkulan Village. Keywords: ecotourism, mangroves, carrying capacity, suitability, Pinasungkulan Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan dan infrastruktur. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di lapangan, melalui pengukuran potensi hutan mangrove, pengamatan biota dan wawancara langsung dengan masyarakat lokal dan pihak terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen hasil studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data pendukung lainnya. Terdapat 4 jenis mangrove yang ditemukan yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba dan Avicennia marina. Nilai kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizophora apiculata yaitu 6,56 individu/m², frekuensi jenis tertinggi adalah 1 pada jenis Rhizophora apiculata, nilai penutupan jenis tertinggi Sonneratia alba yaitu 34,02, Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi jenis Rhizophora apiculata di titik 3 dengan nilai 226,98, indeks keanekaragaman mangrove H’= 2,66 dengan kategori sedang, indeks kemerataan tertinggi pada titik 2 yaitu 0,92. Nilai Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) mangrove 2,36, menunjukkan kategori Sesuai. Kawasan mangrove Desa Pinasungkulan dapat dibangun tracking mangrove seluas 350 meter². Daya Dukung Kawasan (DDK) adalah 56 orang/hari dengan waktu operasional 8 jam kerja per hari. Kajian persepsi masyarakat tentang manfaat ekosistem mangrove dan potensinya untuk dikembangkan sebagai tujuan ekowisata sangat baik sehingga diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Pinasungkulan. Kata kunci: ekowisata, mangrove, daya dukung, kesesuaian, pinasungkulan