This research wants to look at the humanitarian diplomacy strategy by the Indonesian government to provide humanitarian assistance to the Rohingya ethnic groups (especially those still in Myanmar in 2017). Myanmar's military and also the majority of people in Rakhine who are Buddhists have committed acts of violence and seized the human rights of the Rohingya ethnic group which is an ethnic minority in Rakhine who are Muslim. The issue attracted the attention of the international community, including Indonesia. This study uses a qualitative method, with a descriptive analytic approach, where data are collected by literature study. The findings of this study are: the Indonesian government has used several humanitarian diplomacy strategies, including: conducting a diplomatic approach between the Indonesian government and the Myanmar government (with due regard to the ASEAN Way), collaborating with the United Nations (offering formula 4+1 as a form of implementation of the recommendations from Advisory Commission Report for Rakhine), involved civilians to channel aid to the Rohingya ethnic group in Myanmar (forming AKIM consisting of 11 humanitarian agencies). The strategy succeeded in breaking through the blockade carried out by the Myanmar government as an effort to block humanitarian assistance provided by the international community.
The development of security studies in international relations since its origin has usually been related to safeguarding a country’s sovereignty from military and traditional threats from others. However, in this information and technological era, the essence of security has shifted from its distinctive meaning. The threats the world is facing today are subtle in form, difficult to predict, and intangible in most cases. Military might is no longer a threat. The COVID-19 pandemic is an excellent example that shows that future security threats can not only come as a large-scale military invasion but could be as tiny as an airborne virus. Battling these threats does not require conventional weapons but an obedient public attitude toward the government policies. For this reason, state security must be built not just by the state but also by the people. This article discusses COVID-19 as a nontraditional threat that has a profound impact on state and human security.
Keywords: security, nontraditional threats, COVID-19
Tulisan artikel ini mengeksplorasi tentang fenomena model Islam Nusantara yang ada di Indonesia, sebagai suatu kajian kritik terhadap pembahasan dimensi Islam dalam buku yang berjudul “The Clash of Civilization and the Remaking of World Order”, karya Samuel P. Huntington. Adapun hasil pembahasan dalam artikel ini telah menunjukkan tentang beberapa kelemahan dari teori “Clash of Civilization” yang dibangun oleh Samuel P. Huntingtong, terutama jika dilihat dari pendekatan teoritis maupun pendekatan sejarah. Misalnya saja adanya inkonsistensi dalam menggunakan paradigma realis dalam pembangunan teorinya. Selain itu Huntington juga mengalami kebingugan untuk memilih antara landasan geografis ataukah landasan agama dalam mengidentifikasi peradaban yang dimaksud. Serta fakta sejarah juga telah menunjukkan bahwa banyak konflik yang terjadi di dunia ini tidak didasari oleh adanya perbedaan peradaban. Terlebih lagi ditemukan fakta bahwa pembahasan tentang dimensi Islam dalam buku tersebut hanya mengambil referensi dari Islam Timur Tengah, yang sangat bertolak belakang dengan fenomena model Islam Nusantara yang ada di Indonesia. Inti dari artikel ini adalah ingin menunjukkan adanya fenomena yang bertolak belakang yang ditunjukkan peradaban Islam di Indonesia yang sama sekali tidak sesuai dengan pembahasan dimensi Islam dalam buku yang ditulis Huntington tersebut. Dimana di Indonesia yang merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, dengan model Islam Nusantara yang ada di dalamnya telah mampu menunjukkan dimensi Islam yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Huntington dalam bukunya tersebut. Model Islam Nusantara yang dipelopori oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia yaitu NU (Nahdlatul Ulama) telah mampu menunjukkan model Islam yang bersifat moderat, anti radikal, inklusif, dan toleran.
Tulisan ini membahas terkait peristiwa reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Dimana ketika itu rakyat Indonesia menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan lebih menghargai HAM. Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, adapun data-data yang digunakan dari penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data “librarian research”, dimana data diperoleh dari sumber-sumber pustaka seperti buku, jurnal, koran, majalah, dokumen laporan, serta sumber-sember yang berasal dari internet. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah adanya relasi antara peristiwa reformasi di Indonesia dengan perkembangan norma HAM di dunia internasional. Indonesia beradaptasi dengan nilai yang berkembang di dunia internasional melalui peristiwa reformasi untuk membentuk sistem pemerintahan yang sesuai dengan apa yang sedang berkembang di dunia internaional yaitu terkait perkembangan norma HAM itu sendiri, melalui sebuah mekanisme yang disebut Process of Norms Socialization (proses sosialisasi norma). dengan kata lain peristiwa reformasi di Indonesia telah dipengarui oleh perkembangan norma HAM di dunia internasional.
Abstrak Tulisan ini membahas tentang alasan Australia yang telah memberikan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. Tulisan ini bersifat diskriptif analitis, dengan menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data, menggunakan teknik “librarian research” dimana data-data untuk mendukung argumen diperoleh dengan cara mengumpulkan data tersebut dari berbagai sumber seperti buku-buku atau literatur, jurnal, surat kabar, majalah, maupun data-data yang bersumber dari internet. Adapun hasil dari pembahasan dalam tulisan ini menunjukkan adanya fakta bahwa Australia telah mengalami pergeseran kepentingan terhadap Timor Leste. Di era tahun 1970-an, Australia memiliki kepentingan keamanan nasional terhadap Timor Leste. Karena ketika itu dianggap komunis sudah masuk Timor Leste, sehingga Australia mendukung Indonesia untuk melakukan invasi terhadap Timor Leste dengan alasan keamanan. Kemudian di tahun 1980-an kepentingan nasional Australia terhadap Timor Leste berubah menjadi kepentingan ekonomi. Hal ini ditandai dengan pemberian dukungan terhadap kemerdekaan Timor leste dari Indonesia. Perunahan tersebut dilandasi karena Australia menginginkan legalitas pengolahan sumber daya alam di wilayah Celah Timor tetap terjaga. Karena ketika itu dunia internasional mempermasalahkan keabsahan pendudukan Indoensia atas Timor Leste. Artinya ada kepentingan ekonomi bagi Australia berupa peluang pengolahan minyak dan gas di Celah Timor. Kata Kunci: Australia, Timor Leste, Keamanan Nasional, Kepentingan Ekonomi, Celah Timor.
Violence and abuse against Indonesian unskilled labourers and migrant workers has become prolific and is a serious breach of human rights. This research will provide a basis to understanding physical violence and abuse against Indonesian migrant workers overseas from a policy and government perspective. This issue will be analyzed with four different perspectives including; non-government organizations working in the field, governments and legislation which are obliged to protect migrant workers against abuse, agents who send Indonesian migrant workers overseas and victims who have returned following employment overseas. Both quantitative and qualitative research methods will be applied through the compilation and analysis of statistics by government and non-government organizations, assessing trends, demographics and social factors that increase the risk of exploitation and also providing an overview of relevant legislation. Victims, witnesses, agents and other concerned parties will give testimony to provide primary data and greater insight into the issue. Understanding the causes and trends behind these phenomena will provide a sturdy foundation on which to build long term policy solutions and cooperation among nations.
Women's political participation is a key factor in achieving an inclusive and equitable democracy. This research aims to investigate the role of women in increasing political participation and democracy in Sweden. Qualitative research is used to understand complex and subjective cases by collecting descriptive and unstructured data. The results show that Sweden has achieved significant progress in women's political participation. The country has consistently championed gender equality and ranks fourth in the 2020 Global Gender Gap Index. The gender equality approach as a cornerstone of its politics has brought significant changes in the role of women in politics and government policy. Sweden also acts as a global change agent in promoting gender equality values. The research also identified that gender gaps still exist in Sweden, influenced by structural barriers, political institutions and political culture. Sweden has used quota mechanisms and women's competency preparation to increase women's representation in parliament. However, there is still work to be done to fully address gender inequality. Sweden is an inspiring country in the fight for gender equality and women's empowerment in politics. Quota efforts, competency preparation, and community support are important steps in increasing women's representation in Swedish politics. Gender concepts and feminist perspectives have becGender equality
ome the basis for policies that support women to participate in politics, ensure gender equality, and create a more inclusive and fair political environment for everyone.
ABSTRAKPenelitian ini menganalisis tentang peran pemerintah Indonesia dalam menangani masalah perdagangaan perempuan Indonesia ke Timur Tengah pada tahun 2016-2019. Namun di tengah upaya-upaya yang dilakukan, nyatanya pemerintah Indonesia juga memerlukan adanya sebuah elemen kerjasama dari sebuah lembaga ataupun organisasi, yang diharapkan mampu membantu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah perdagangan perempuan yang terjadi di Indonesia, salah satu upaya pemerintah yaitu dengan menjalin kerjasama bersama Internastional Organization for Migration (IOM). Karena mengingat kasus tersebut merupakan kejahatan lintas negara yang terorganisasi yang tidak hanya terjadi didalam negara tetapi telah melintasi batas negara. IOM tidak hanya memenuhi kebutuhan bantuan yang berkaitan dengan fisik, namun juga menjamin dan memelihara lingkungan tempat tinggal yang terjamin kebersihan, keamanan hingga kenyamanan nya. Pemerintah Indonesia dan IOM sudah sama-sama melakukan upaya dalam menangani masalah perdagangan perempuan yang terjadi di Indonesia ke Timur Tengah tersebut, namun bukan berarti upaya tersebut menjamin akan berkurangnya masalah perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.Kata Kunci: Indonesia, Perdagangan Orang, Internastional Organization for Migration (IOM), Timur Tengah. ABSTRACTThis research analyzes the role of the Indonesian government in dealing with the problem of trafficking of Indonesian women to the Middle East in 2016-2019. However, in the midst of the efforts made, in fact, the Indonesian government also needs an element of cooperation from an institution or organization, which is expected to be able to assist the government's efforts to overcome the problem of trafficking in women that occurs in Indonesia, one of the government's efforts is to collaborate with international partners. Organization for Migration (IOM). Because considering that the case is an organized transnational crime that does not only occur within the state but has crossed national bordersIOM not only meets physical assistance needs, but also guarantees and maintains a living environment that is guaranteed cleanliness, safety and comfort. The Indonesian government and IOM have both made efforts to address the problem of trafficking in women that occurred in Indonesia to the Middle East, but this does not mean that these efforts will reduce the problem of trafficking in persons that occurs in Indonesia. Keywords: Indonesia, Human Trafficking, International Organization for Migration (IOM), Middle East
In dealing with the conflict in Papua, the Indonesian government has made various efforts, one of which is changing the status of the Free Papua Organization (OPM) which was originally defined as an armed criminal group, then changed to a terrorist group. The focus of this research is the change in the status of the OPM to the terrorist organization. This research is analytical with an explanatory approach that explains the reasons behind the policy taken by the Indonesian government to change the status of OPM to a terrorist organization. In collecting data to build arguments in this study using a literature study approach, where data is obtained from various literature sources such as books, journals, documents or reports, and also from internet sources that are considered relevant. The findings of this study can be illustrated that the Indonesian government's policy to change the status of the OPM to a terrorist organization has been motivated by several reasons, including: OPM has met the definitive requirements as a terrorist; expanding the space for the Indonesian government to deal with the OPM, including facilitating the tracking and blocking of funding for the OPM movement; To gain legitimacy from any efforts or steps taken to confront OPM; Using the "war on terror" norm to reduce the perception of human rights violations committed by the Indonesian government.
Pasca peristiwa 9/11, isu terorisme di dunia internasional menjadi isu penting. Bahkan di Indonesia pasca peristiwa serangan terhadap gedung WTC tersebut direspon dengan membuat instrumen kontra treorisme dalam konteks nasional yang kemudian dalam proses pelaksanaannya dianggap melanggar HAM. Padahal fenomena terorisme di Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia membuat kebijakan-kebijakan kontra terorisme seperti: pembuatan UU anti terorisme, pembentukan BNPT, serta pembentukan pasukan khusus Densus 88. Tulisan ini ingin menjelaskan adanya pengaruh dari dimensi ide yang mempengaruhi persepsi pemerintah Indonesia dalam memaknai ancaman terorisme yang dibangun dalam konteks konstruksi sosial dalam pergaulan internasional, yang kemudian memberikan pengaruh bagi pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan represif dan cenderung melanggar HAM dalam kontra terorisme karena terorisme dipersepsikan sebagai ancaman nasional yang luar biasa.